Majalah Zaman baru-baru ini menampilkan sejumlah besar sajak anak-anak dibawah umur 15 tahun. Sajak-sajak-sajak itu selama ini di muat dalam rubrik ‘Kebun Kita’ majalah tersebut, tentu saja telah diseleksi.
Secara keseluruhan, puisi yang terkumpul dalam tiga belas halaman itu menunjukkan kuatnya apresiasi sastra anak-anak kita dewasa ini, dan membuktikan tidak sia-sianya pelajaran Bahasa Indonesia di semua sekolah, betapa banyak kekurangannya sekalipun.
Mungkin kekurangan terbesar pada segi perbendaharaan kata yang sangat miskin, akibat logis dari kecenderungan orang dewasa yang sangat kuat untuk menggunakan istilah dari bahasa asing atau bahasa daerah. Namun kekurangan itu diimbangi oleh kemampuan cukup besar untuk mengolah kata-kata, sehingga memiliki nuansa dan pengertian baru. Juga besarnya keharuan yang mendorong para penyair cilik kita untuk menciptakan puisi yang menyentu rasa, bahkan sesekali mengharukan. Dalam pendahuluan, redaktur Zaman Jimmy Supangkat menyidik besarnya rasa murung yang ada dalam karya-karya tulis itu, terutama dalam sajak berbentuk doa. Jenis ini cukup banyak , 56 buah, namun banyak yang cengeng, ungkapannya kebanyakan klise belaka dan sarat dengan pengaduan masalah yang tak terselesaikan.
Yang barangkali perlu dipahami adalah justru arti penting dari banyaknya jumlah sajak berbentuk doa—sebuah kenyataan yang sekaligus memantulkan keadaan kita dewasa ini maupun potensi yang dimilikinya untuk menatap masa depan dengan sehat dan baik.
Sajak Doa dapat saja berwatak pelarian, terlalu mendambakan utopia. Dalam hal itu, ia akan berfungsi negaif bagi masa depan, karena manusia kehilangan kemampuan melihat realitas kehidupan.
Hal seperti itu tidak nampak dalam kumpulan sajak anak-anak yang dikumpulkan majalah Zaman itu. Umpamanya saja dapat dilihat kedewasaan dialog para penyair cilik itu dengan Tuhan masing-masing. Tuhan menggumpal jadi sasaran kebutuhan duniawi Zul Irwan, yang masih belum yakin dengan kemampuannya mempersiapkan diri menghadapi tugas sekolah, dalam kata-katanya.
Tuhan.../berikan aku mimpi malam ini/ tentang matematika/yang diujikan besok pagi.
Sudah tentu ia sendiri paling sadar, bahwa Tuhan tidak akan menuruti permintaan kocak tersebut.
Tuhan jugalah yang jadi sasaran kebingungan Adi Utomo Hatmoko yang mengalami keterputusan komunikasi, ketika ia berdoa
Doaku sudah ku akhiri/hingga engkau tidak bakal mengerti/Amin.
Sebaliknya, Agatha Artistayudha menggugat suasana tidak peduli kepada Tuhan, dalam sajaknya ‘Kitab Suci’:
Engkau di dalamnya, Tuhan? terpepet/dan/menjadi makanan rayap/ketika semua orang/tak menghiraukanMu lagi
Bisa juga Tuhan menjadi obyek kekenesan belaka, seperti di perbuat Sri Pinurih
Tuhanku …../ aku tidak sanggup meneruskan/karena tenggelam/dalam isak tangis/kedukaan/.
Atau obyek sikap manja Rusbandi dalam ‘Kepada Tuhan’
Tuhan, bukan bintang yang ingin kuminta/bukan pula bulan/aku hanya meminta sebuah kitab/yang berisikan puisi/untuk ayah bunda.
Dalam sajak-sajak mereka, ada juga kesadaran yang dewasa tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti ‘Doa’ Avida Virya yang tadinya minta baju baru dari Tuhan:
Aku mendengar/Tuhan berkata; engkau tak perlu gelisah/mamamu akan memberimu/bahkan lebih baik lagi
Dalam pola inilah para penyair cilik itu menuntut kejujuran dalam hubungan dengan Tuhan, seperti ungkap Dewi Marhaini Nasution
Tuhanku/kupandang mata ibuku dalam-dalam/agar dapat melihat/apakah ibuku jadi juga pergi ke masjid/bersembahyang Isa?
Di samping tuntutan tersebut, penyair cilik ini juhga merasakan kehadiran Tuhan dalam bentuk sangat sublim.
Sunguh aku tak tahu/bahwa Tuhan itu/adalah Kau/yang setiap saat kujumpai/lewat permainan kami tadi.
Mohamad Sofyan juga merasakan kehadiran Tuhan dalam kedekatan hubungan antara sesama manusia, walaupun dalam arti yang lain lagi.
Bila Kau hendak memangil/pangil aku sendiri/bila Kau hendak memberi/jangan aku sendiri.
Betapa polosnya hubungan mereka dengan Tuhan, inilah yang mungkin akan mengekalkan penghayatan keimanan bangsa ini, bukannya khotbah para agamawan ataupun diskusi pemikiran agama.
Seolah olah para penyair cilik itu mengerti benar, bahwa masalah dasar bangsa ini hanya teratasi, kalau warga bangsa memiliki wawasan transendental yang kaya, yang memungkinkan mereka menemukan harkat manusia.
Wawasan seperti itu hanya akan tercapai, kalu manusia mampu berdialog dan merasa dekat dengan Tuhannya. Keakraban manusia dalam keadaan begitu, akan diimbangi oleh keakraban Tuhan dengan dirinya, yang akan memberinya kekuatan mnyelesaikan kemelut yang diciptakannya sendiri.
Dengan kemampuan para penyair cilik itu untuk merasa dekat dengan Tuhan, seperti digambarkan di atas, jadi nyata bagi kita bahwa Tuhanpun merasa akrab dengan mereka. Mampukah kita mencari keakraban seperti itu?
Kita dapat belajar dari Rudiawan Triwidodo dalam sajak ‘Doa Di Bibir Sumur’, ketika ia mengharapkan ‘tetesan air mata Tuhan’:
Agar tersedu tangis kami dengan wajar/sebab hampir terlupa bagaimana kami/harus menangis/dengan benar/mensyukuri berkat dan rahmat-Mu/yang melimpah/di luar sadar kami/agar basah sumur-sumur kami/tersiram air kasih yang memancar dari/Sumber keMahaanMu/Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar