Sabtu, 31 Oktober 1981

Yang Membuat dan Yang Dicatat

Dunia politik Amerika Serikat mempunyai kisah unik yang sering diulang-ulang. Seorang muda berbakat dan memiliki kepemimpinan potensial, berhasil meraih kedudukan anggota Konggres. Atau menjadi Senator negara bagian, kemudian menanjak menjadi senator Nasional. Setelah cukup lama, menjadi eksekutif dalam jabatan gubernur negara bagiannya. Pola Lokal,  Nasional, kemudian kembali ke daerah, mematangkan kepribadiannya, hingga akhirnya ia di pandang potensial menjadi presiden.

Tetapi nasib menghendaki lain. Setelah begitu terkenal melalui beberapa jabatan, ia hilang. Tidak ada yang tahu dimana dia. Tidak tahunya ia menjadi wakil presiden - setelah kalah bersaing dengan orang-orang lain yang juga sama-sama potensial.

Sabtu, 17 Oktober 1981

Sadat sebagai Politikus

Mendiang Presiden Sadat dikenal karena kenegarawanannya. Dua kali kenegarawanan itu diperlihatkan pada skala dunia: ketika mengambil keputusan berperang dengan Israel di tahun 1973 dan ketika memutuskan memulai prakarsa perdamaian. Karena kedua tindakan di ataslah Sadat terkenal di seluruh dunia, sebagai tokoh dengan popularitas global dan cakrawala yang menerawang jauh ke ufuk sejarah.

Namun jarang diketahui kapasitasnya sebagai politikus. Kalaupun dikenal, hanya sekilasseperti dalam episode yang dimasukkan Ken Folett dalam novelnya yang terbaru, Key To Rebecca. Di sana digambarkan Sadat sebagai perwira muda Mesir yang mencoba menghubungi pihak Jerman di bawah pimpinan Marsekal Erwin Rommel, dalam rangka 'menyambut dari dalam' sekira pihak dari Jerman itu dapat mengalahkan bala tentera sekutu dan menduduki Kairosebelum pertempuran El-Alamein yang menentukan dalam Perang Dunia Kedua itu.

Digambarkan, betapa perwira Mesir dengan kebencian kepada Inggris itu, sewaktu ditangkap pihak Intel Sekutu karena menyembunyikan dan melindungi alat pemancar radio milik spion Jerman Alez Wolf, secara licik menggunakan peraturan militer Inggris untuk membebaskan diri.

Salah satu sebab kurangnya dikenal 'gaya politik' Sadat adalah kemampuan menyembunyikan perasaan dan menutupi pendirian politiknya. Ia sangat pendiamdi balik spontanitas senyum dan gaya penampilan yang diperlihatkannya di muka umum. Berjalan kaki berjam-jam mengelilingi kebun rumah tanpa sepatah katapun diucapkan kepada teman berjalannya, seperti diungkapkan sahabat karib Sadat, bekas menteri perencanaan Osman Ahmad Osman yang akhirnya menjadi besannnya. Juga sangat sabarseperti dibuktikan oleh ketenangan sikapnya dihadapan provokasi dan tekanan (bahkan terkadang penghinaan) mendiang Presiden Nasser, yang kemudian digantikannya tahun 1969. Mungkin tidak kalah sabar dari Deng Xiao-Ping, orang terkuat RR China sekarang. Keduanya sama-sama emosional, dan bertemperamen panas, tetapi tahan terhadap gangguan dan jebakansambil merentang pemikiran bagaimana mencari balas di kemudian hari.

Hanya Deng seorang pendendam, sedang Sadat tidak. Enam belas tahun ia gunakansekaligus direndahkan martabatnya oleh Nasserdalam berbagai kapasitas dan jabatan kenegaraan. Tetapi tak pernah sekalipun ia menampakkan kebencian kepada bekas atasannya itu. Keluarga Nasser diperlakukan masih dengan penuh hormat, bagai perlakuan terhadap isteri kepala degara dengan berbagai fasilitasnya.

Juga tak pernah ada cercaan atau sindiran di muka umum terhadap lawan politiknya yang telah tiada itu, dengan alasan formal jabatan kepresidenan adalah lambang yang tak patut direndahkan. Kalaupun ia mengajukan kritik, hanya secara tidak langsungseperti penamaannya kepada kelompok Khaled Muhyiddin sebagai 'mereka yang ingin mengenakan mantel Nasser'.

Tetapi jauh lebih penting adalah kemahiran politik yang dimilikinya. Kemahiran untuk menunjukkan wajah moderat di saat Nasser melakukan persekusi dan 'tindakan pembersihan', tanpa terlalu jauh meriskir friksi terlalu besar dengan sang atasan. Kemahiran untuk menggunakan simbol-simbol meyakinkan dalam momentum psikologis yang diingininya, seperti terbukti dengan 'kemenangan tentara Mesir atas Israel dalam perang Oktober 1973'.

Juga kemahiran memanipulasi rasa kesejarahan (sense destiny) para pemimpin lain untuk kepentingannya sendiri seperti terlihat dalam 'paksaan halus'-nya atas presiden Jimmy Carter sewaktu perundingan Camp  Davidia mempergunakan kesempatan 'menunjukkan sikap adilnya terhadap Bangsa Arab' dengan jalan menekan pihak Israel.

Juga kemahiran merencanakan dan melaksanakan tindakan politik yang sangat kompleks dan saling menutupi aspek-aspek negatif yang tak diingini, seperti penangkapan ....diri banyak agamawan dan komentator agama serta nasionalisasi 40 ribu masjid dan musholla. Tindakan tidak populer terhadap muslim militan itu 'dimbanginya' dengan penahanan rumah atas diri pemimpin Gereja Kristen Kopti, Paus Shenouda III. Persekusi terhadap 'Islam Ekstrem' dibungkus dengan dalih 'penertiban semua agamawan ekstrem'.

Mesir adalah bangsa yang berperadaban sangat tua. Tetapi juga dengan birokrasi yang sangat kaku, jumlah penduduk dengan konsentrasi tinggi di beberapa kota besar saja, dan lokasi geografis yang demikian strategis sebagai 'penghubung tiga benua Eropa, Asia, Afrika. Kombinasi seperti itu menuntut kemahiran politik tinggi dari para pemimpinnya, kalau mereka ingin bertahan cukup lama.

Seperti juga di Cina, Rusia dan Jepang, hanya dengan kemahiran politik sangat tinggi seorang pemimpin dapat lama bertahan pada kedudukan tertinggi. Tidak seperti banyak negara lain, yang dapat mentolelir pemimpin kelas dua asal mempunyai pembantu yang mempunyai kemahiran seperti ituseperti Amerika Serikat dengan sederetan presidennya belakang ini: Eisenhower, Ford, Carter dan (tampaknya) Reagen.

Dalam tolok ukur kemahiran politik inilah harus diamati dan kemudian diperkirakan, kepemimpinan wakil presiden Mesir sekarang, Hosni Mubarakyang dapat dipastikan akan menggantikan Sadat sebagai presiden dalam referendum dua bulan lagi. Orang baik (nice guy) dan pahlawan perang dalam Angkatan Udara ini belum diketahui setinggi mana kualitasnya sebagai politikus.

Bagaimanapun, ia membutuhkan kemahiran sangat tinggi untuk mengendalikan keadaan politik sepeninggal Sadat, apalagi dalam percaturan antara pihaknya sendiriyang diwakili dari Sadatdan kedua kelompok alternatif terkuat: Kaum Nasseris militer di bawah bekas panglima angkatan bersenjata Sa'ad Shazli (kini dalam pengasingan di Libya) dan kaum Nasseris sipil dalam Uni Front Progresif Nasional dengan ketua Khaled Muhyiddin.

Kalau itu tak dimilikinya, orang yang lebih mahirlah yang akan menggantikannya sebagai pemimpin Bangsa Mesir dalam waktu singkat saja. Reputasinya sebagai 'Pak Turut', yang hanya memiliki kebiasaaan di bidang politik luar negeri, belum dapat digunakan sebagai tolok ukur. Bukankah Sadat juga demikian dahulunya?

Sabtu, 10 Oktober 1981

Mesir dan Kita, Persamaan dan Perbedaan

Ada beberapa persamaan antara perkembangan keadaan di Mesir dan negeri kita dewasa ini. Perbedaan yang terdapat dalam hal-hal yang di luar tampak sama penting untuk dikaji, sebagai salah satu alat ukur efektivitas kerja yang kita lakukan sebagai bangsa.

Mesir dewasa ini sedang berada pada tahap konsolidasi perekonomiannya yang sejak beberapa tahun yang lalu menganut kebijaksanaan ‘pintu terbuka’ bagi modal asing. Sama juga halnya dengan pemerintahan kita, pemerintahan Preiden Sadat harus bergulat dengan beberapa masalah dasar yang memerlukan pemecahan segera: penyediaan kebutuhan pokok setelah sekian lama dilalaikan oleh perekonomian sosialistisnya mendiang Presiden Nasser.

Sabtu, 03 Oktober 1981

Sadat dan Islam

Presiden Mesir Muhammad Anwar Sadat memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Ia lahir dalam keluarga pimpinan tarekat terbesar di Mesir, keluarga Al Sadat yang memimpin dunia tarekat selama berabad-abad lamanya.

Dengan sendirinya ia memperoleh dasar-dasar pendidikan agama yang kuat, walaupun akhirnya ia memilih karir militer. Ia berpangkat mayor sewaktu turut menggulingkan monarki di tahun 1952 bersama Gamal Abdul Nasser dan kawan-kawan mereka dari Gerakan Opsir Merdeka.

Sejak itu ia menjadi pejabat tinggi pemerintah tanpa terputus sama sekali. Mula-mula sebagai calon terkuat setelah Nasser untuk jabatan presiden republik,dan (karena itu) di  kedudukan sekjen Partai Sosialis Arab, Ketua Majelis  Rakyat ( parlemen Mesir ) dan Wakil Presiden. Setelah itulah baru ia  menggantikan Nasser sebagai presiden, setelah wafatnya tokoh Pan-Arabis yang legendaris itu.

Pengetahuan agama yang cukup dalam itu memberikan kedudukan unik kepada Sadat : ia jarang menjadi sasaran tentangan agamawan militan, yang sejak lama sudah begitu benci kepada mendiang Presiden Nasser. Kebiasaan untuk sesekali menjadi khatib sembahyang Jum’at, pidato keagamaan yang mencengkam untuk membangkitkan semangat rakyat dikala negara menghadapi krisis, dan banyak lagi kegiatan lain, telah memberikan ‘identitas keagamaan’ kepada Sadat. Walaupun para agamawan tidak pernah percaya sepenuhnya kepada Sadat, mereka juga tidak berkonfrontasi total terhadapnya.

Salah satu faktor utama tentu  adalah kemampuannya melepaskan diri dari keterlibatannya dalam tindak kekerasan mendiang Nasser terhadap  gerakan militan Muslim Brotherhood  (Al Ikhwanul Muslimun )–termasuk hukuman gantung atas diri pemimpin mereka Sayyid Qutb di tahun-tahun enampuluhan.

Wadah Baru “Orang Ikhwan”

Dengan demikian wajarlah ketika Sadat memberikan ruang gerak kepada kelompok-kelompok muslim militan di Mesir segera setelah ia sendiri menjadi presiden, selama mereka tidak secara formal menghidupkan kembali ‘gerakan ikhwan’ di atas. Harta wakaf Al Azhar dikembalikan lagi kepada lembaga tua itu, setelah sekian belas tahun ‘dinasionalisasi’ oleh  mendiang Nasser , walaupun Sadat masih memasang ‘orang luar’ dari Universitas Cairo sebagai ‘teknokrat pengawas’ untuk memperbaiki pengelolaannya dalam kapasitas sebagai Menteri Urusan Wakaf. Demikian juga Presiden Sadat sendiri mengetuai panitia  peringatan Hari Jadi Keseribu Al-Azhar, yang direncanakan akan berlangsung lima tahun.

Di permukaan, kebijaksanaan ‘pendekatan keagamaan’ itu akan membawakan sukses besar bagi Sadat. Apalagi dalam pergulatannya yang belum pernah sepi dengan kelompok-kelompok Nasseris yang menolak penyimpangan Sadat dari dasar politik Nasser. ‘Pendekatan keagamaan’lah yang membawakan tunjangan kaum muslimin militan kepada  Sadat dalam melawan ‘kaum sosialis kafir’ lawan mereka.

Tetapi ternyata tidak demikian perkembangannya. Berangkat dari dekatnya Sadat kepada kelompok-kelompok Islam Akhirnya membawa kesulitan sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ia mengizinkan berdirinya Jama’ah Islamiyah (bukan Islam jama’ah, tetapi sama ngotot-nya) sebagai wadah baru ‘orang ikhwan’. Pada saat yang sama parlemen dibiarkannya menerima penerapan ketentuan hukum pidana Islam sebagai bagian  dari sistem hukum nasional.

Segera timbul debat sengit banyak kalangan  hukum yang lain, di luar ahli Hukum Islam. Bagaimana pun juga mereka telah terbiasa dalam tradisi  hukum Eropa kontinental yang diperkenalkan Napoleon sewaktu menduduki Mesir selama dua abad yang lalu.

Untuk mengatasi kemacetan, dibentuk komisi yang bertugas merumuskan penjabaran proses penerapan ketentuan pidana Islam dalam hukum pidana nasional yang ada. Peran utama diberikan kepada seorang yang diterima baik di kalangan hukum nonagama maupun lingkungan Hukum Islam, yaitu Salah Abu Saif. Ternyata ketua komisi ini tidak mampu mempercepat proses, sebagaimana dikehendaki kaum muslimin militan.

Keadaan ini membuat tuntutan kelompok militan di kalangan para agamawan muslim menjadi semakin mengeras. Semakin mengerasnya tuntutan tanpa diimbangi keberhasilan sedikitpun, mau tidak mau akan menjadi bom waktu yang akan menyulitkan kedudukan Sadat – seperti halnya yang terjadi dengan peningkatan aktifitas gereja Koptik di bawah Patrik Shenouda III.

Dilemanya bagi Sadat adalah:  kalau ia menerima tuntutan kelompok muslim militan, ia harus merombak struktur kemasyarakatan Mesir secara fundamental, termasuk memberikan pola pembangunan teknokratik yang kini dilaksanakannya: kalau ia menolak, ia harus membasmi kelompok-kelompok muslim militan itu sebelum menjadi terlalu kuat.

Apalagi mengingat kelompok-kelompok kiri Nasseris juga sudah mulai menginfiltrasi ‘dunia keagamaan’ kaum muslim Mesir dengan sebutan ‘Islam kiri’ (yasari dini) . Bekas Jendral Fauzi, bekas wakil  presiden Ali Sabri (saingan yang di babat Sadat dalam bulan Mei 1971, yang kini dijadikan ‘bulan suci’nya dan kawan-kawan) dan banyak lagi tokoh-tokoh sosialis Nasseris sudah ‘membuka lapangan kerja baru dengan berkhotbah di masjid.

Ternyata Sadat memilih tindakan keras, main babat yang secara licin dibungkus dengan pemecatan Shnouda III dan ‘pembredelan’ sebagian aktivitas gereja Kristen Kopti.

Tetapi ini juga hanya akan merupakan pemecahan sementara. Karena bagaimanapun juga, akhirnya memang Sadat belum berhasil menemukan cara untuk membuat hubungan permanen atas dasar saling menghormati – bukannya saling mempergunakan – dengan kelompok-kelompok Islam semuanya, bukan hanya yang militan saja