Selasa, 29 November 2005

Ulil dan Liberalismenya

Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri.” Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim A Mustofa Bisri. Sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri.

Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainnya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Jumat, 11 Juni 1999

PKB, Syariah, dan "Negara Sekuler"

Sebuah tuduhan besar diajukan oleh HM Yusuf Hasyim (YH) dalam peresmian partai yang dipimpinnya, Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan dialamatkan ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang kebetulan didirikan penulis dan dipimpin Drs. Mahori Abdul Jalil.

Tuduhan yang diajukannya sangatlah menarik: PKB meninggalkan perjuangan syariah dan mengusahakan adanya negara sekuler. Tuduhan itu sangatlah menarik karena dapat dibalik: Pak YH, yang memimpin partai umat Islam itu, hanya memperjuangkan syariah Islamiah tanpa memperjuangkan hukum nasional, sebagai kepentingan mayoritas bangsa. Ini kalau penulis mau main kau dan ingin menjatuhkan Pak YH. Tetapi, penulis tidak bermaksud demikian, tetapi ingin membuka dialog secara sehat.

Sabtu, 31 Mei 1986

Tradisi, Kebudayaan Modern, dan Birokratisasi

Sudah lebih dari 50 tahun yang lalu Polemik Kebudayaan berlangsung, tapi masih juga di pertentangkan antara tradisi dan kebudayaan moderen. Sutan Takdir Alisjahbana masih juga menggebu-gebu dalam hal itu, dan lawan polemiknya dahulu juga masih tetap pada persoalan yang sama. Mereka masih ada yang menolak kebudayaan moderen, dan tetap mengagung-agungkan masa  lampau Sriwijaya, Majapahit,  dan Mataram sebagai ‘ukuran baku’ kebesaran masa lampau bangsa kita.

Yang mengherankan, perdebatan itu terjadi tanpa satu pun yang mencoba melakukan proyeksi substansi yan mereka pertikaikan pada kenyataan lapangan yang sama sekali berbeda. Baik mereka yang mempromosikn modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinjak pada kenyataan yang berkembang. Dialog seperti itu terasa tragis. Di satu pihak, kita menghabiskan energi dan waktu untuk berdebat  hanya pada masalah dasar belaka. Tidak pernah beranjak ke tingkat lebih kongkret, seperti menyimak operasionalisasi nilai-nilai tradisional kepada lahan kehidupan yang dituntut untuk ‘serba moderen’. Di pihak lain, perkembangan keadaan berjalan terus tanpa mahu tahu apa yang diributkan pendukung modernitas dan pecinta tradisionalisasi.

Sabtu, 21 Desember 1985

Perjanjian dengan Setan

Di tahun-tahun lima puluhan, beredar terjemahan novelet Damon Runyon, Hantu dan Daniel Webster. Isinya tetang seorang Amerika abad lalu yang menggadaikan jiwanya kepada setan agar berhasil gemilang dalam profesi. Diakhir masa gadai, sang setan datang untuk menagih: orang itu harus hidup dalam bentuk lain. Menjadi kupu-kupu yang ditaruh dalam sebuah tabung, mengutuki nasibnya yang jelek, menjadi hamba setan.

Untungnya, melalui berbagai argumen dalam perdebatan antara pembela hukumnyaDaniel Websterdengan sang setan, dalam sebuah ‘peradilan spiritual’ yang unik, orang itu akhirnya dibebaskan dari sanksi.

Bagi kita, penggadaian jiwa kepada setan bukan dongeng aneh. Sekian banyak kepercayaan akan pesugihan sudah menjadi pengetahuan umumdari soal monyet di Gunung Kawi, yang dikatakan penjelmaan dari mereka yang dulu dianugerahi kekayaan luar biasa, hingga babi jadi-jadian yang konon kembali menjadi manusia di kala mati dibunuh orang. Juga tuyul, yang kemarin dipopulerkan itu.

Sabtu, 05 November 1983

Ramai-ramai Menolak Adopsi

Berbeda dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita. Mulai dari bisnis industri macam-macam hingga bisnis olah raga, semuanya memakai bapak angkat. Bahkan pemerintah turut mencanangkan sistem  pengembangan suatu sektor  kehidupan masyarakat dengan menggunakan bapak angkat. Peringatan para cendekiawan bahwa sistem bapak angkat nantinya akan macet ditangan anak emas, sering tidak dihiraukan

Tetapi persoalannya ternyata tidak begitu mulus dengan jenis bapak angkat lain, yang berhubungan dengan adopsi. Banyak pro-kontranya. Yang setuju, tentu, mula-mula para perantara yang mengusahakan adopsi - apalagi yang memperoleh laba besar. Sesudah itu orang yang tidak punya anak, yang memandang adopsi akan memberi  kesenangan sebagaimana  yang dirasakan orang lain yang tampak bahagia.

Sabtu, 24 September 1983

Agama dan Kebangsaan

Tiga orang intelektual muslim kita mengalami persamaan nasib  di negeri orang. Intelektual pertama  adalah  penganut pandangan pluralistik dalam soal-soal keagamaan: mengikuti pentingnya perbedaan pandangan antar kelompok yang begitu banyak ragamnya. Yang kedua penganut orthodoksi agama dalam artian yang tulen: tidak keberatan orang menyatakan pendapat berbeda tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan ajaran- ajaran formal agamanya. Katakanlah ‘intelektual kelas orang baik-baik’.

Yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaharuan dan kini berubah identitas, oleh kebutuhan politis. Lebih tepat dinamai pluralistik kultural dan monolitik politis.

Sabtu, 03 September 1983

Sekuler Tidak Sekuler

Baru saja orang dibikin lega oleh pidato Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1983, ternyata segera dibuat heran oleh yang terjadi setelah itu.

Sunawar Sukowati menyatakan, kepada anak buahnya di lingkungan Fraksi Demokrasi Pembangunan di DPR, bahwa negara Indonesia adalah "negara sekuler". Ini katanya, karena Indonesia bukanlah negara agama, dan karena kekuasaan agama dibedakan dari kekuasaan negara. Selama ini orang memang bisa  bingung dengan status negara kita. Dan nampaknya  enggan membicarakannya.

Keengganan untuk membicarakan status tidak jelas dari negara kita, tentu ada sebabnya. Takut menimbulkan kerawanan politik. Atau tidak diperkenankan atasan, kalau yang bicara pegawai negeri. Takut dituduh menghasut dan menimbulkan kegelisahan, kalau yang ngomong pemimpin Islam. Walhasil, akibatnya sudah ketahuan: kita cenderung merumuskan status negara hanya dari sudut menegasikan apa yang tidak selayaknya diletakkan pada negara itu.

Negara agama? Bukan, karena kita menolak teokrasi. Negara sekuler? Yang mau berbicara, selalu mengatakan bukan juga. Karena Pancasila memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila. Apalagi sebagai sila yang pertama.

Tapi soal ini sebenarnya tidak membingungkan bagi yang memahaminya 'secara tersirat': negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan.

Landasan formal kehidupan bernegara memang tidak menetapkan agama sebagai salah satu unsur ramuan dalam kegiaan pemerintahan. Namun, ia harus dilakukan dalam peranan kongkret yang dilaksanakan pemerintah. Dengan kata lain, secara eksplisit Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang menunjang kehidupan beragama.

Sudah tentu tidak semua orang mampu memahami hakikat status negara itu dari sudut yang 'samar tetapi jelas' itu. Banyak yang melihat dari sudut mekanisme pembagian kekuasaan di dalamnya saja: Yang negara diurus oleh negara, yang agama diurus oleh lembaga keagamaan. Kalau ada pembagian wewenang antara mana yang dibidangi negara dan mana yang dibidangi lembaga keagamaan sendiri berarti itu negara sekuler.

Pihak lain , mendengar kesimpulan begitu naik pitam. Bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi negara sekuler ? Lihat betapa rakyatnya taat beragama, bagaimana pemerintah berkiprah  di banyak kegiatan keagamaan. Banyak pejabat negeri pergi haji, anak-anak mereka mengaji di luar kegiatan sekolah, dan istri-isri mereka rajin mengikuti 'majlis taklim'. Beribu-ribu gedung sekolah agama dan tempat peribadatan dibangun pemerintah, kok masih juga dianggap sekuler. Keterlaluan itu orang!

Padahal kedua-duanya berbicara dari titik pandangan yang berlainan. Yang satu dengan melihat landasan bagi mekanisme pemerintahan dalam kehidupan nyata. Yang satu takut, kalau tidak dinyatakan "sekuler", Indonesia akan diangap dan diperlakukan sebagai negara agama. Yang lain takut, negara akan kehilangan kaitannya dengan agama, kalau dinyatakan " sekuler".

Masalahnya pun sederhana saja tetapi ia menunjukkan masih rapuhnya kehidupan konstitusional kita. Pengertian-pengertian yang di kandung ideologi negara dan Undang-Undang Dasar, belum di perjelas. Dan belum sama pendapat orang tentang batas-batas kegiatan pemerintah di bidang keagamaan.

Yang diperlukan sudah tentu adalah upaya untuk terus menerus mengamati perkembangan keadaan, sambil mencoba mendorong diskusi yang memperjelas permasalahan dan pengertian. Sudah tentu dalam lingkup terbatas, yang akan diperluas dengan semakin besarnya kemampuan masyarakat untuk mempermasalahkannya tanpa mengakibatkan keributan.

Apakah beda antara pembedaan wewenang kenegaraan dan  wewenang keagamaan di satu pihak  dan sekularisme di pihak lain? Kalau dikatakan kata sifat 'sekuler' untuk Indonesia tidak berarti penerimaan filsafat politik sekularisme, di mana letak titik pisah antara keduanya?

Secara berangsur-angsur, permasalahannya akan menjadi semakin bertambah jelas, hingga pada akhirnya ada kesatuan pengertian.