Sabtu, 06 November 1982

Dari Masa Lalu ke Masa Depan

Pondok Pesantren, dua patah kata yang mengungkapkan sejarah masa lampau yang kompleks. Pondok menggambarkan bentuk tarekat. Kata itu berasal dari kata Arab, Funduq, artinya tempat warga tarekat menyepi dari pola hidup sehari-hari. Pesantren dalam pada itu menunjuk pada asal-usulnya yang pra-Islamketika para ahli agama Hindu dan Budha mulai mendalami agama baru mereka, Islam, dibawah bimbingan sejumlah ulama. Guru, yang umumnya berkebangsaan bukan Indonesia asli, menjadi orang yang dituakan. Ialah ‘orang tua’ yang dalam bahasa Arab berbunyi Syaikh dan dalam bahasa Jawa disebut Kiai.

Pola watak tarekat itu, dan persambungannya  yang kuat dengan masa kehidupan beragama model pra-Islam, menjadikan pondok pesantren sebuah lembaga keagamaan yang khasyang justru menyediakan kedamaian dan ketenangan di tengah masyarakat yang dinamis.

Sabtu, 25 September 1982

Ghotbzadeh: Kemalangan Iran

Minggu ketiga September 1982 kembali menyaksikan peristiwa usang dalam dalam setiap proses revolusioner seorang arsitek revolusi dimakan ciptaannya sendiri. Sadek Ghotbzadeh mati diujung peluru regu tembak, menjalani hukuman mati di penjara Evin. Kematian tragis yang tidak ditangisi oleh siapa pun, bahkan juga tidak oleh sejarah, karena ternyata  sejarah tidak berusaha menghentikan percobaan melaksanakan revolusi di bagian-bagian lain dunia ini.

Banyak orang membeci Ghotbzadeh, tetapi ada pula yang memujanya. Banyak pendapat bersimpang siur dikemukakan tentang dirinya. Hatu hal yang tidak dapat dibantah, ia memegang peranan penting dalam babak permukaan revolusi 'Islam' di Iran. Walaupun tetap saja ada perbedaan pendapat mengenai fungsi yang dipegangya dalam revolusi ini.

Rabu, 15 September 1982

Persepsi Gerakan Islam tentang Kebudayaan: Sebuah Tinjauan Dini tentang Perkembangannya di Indonesia

Kebudayaan adalah bidang yang digarap secara ambivalen oleh gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Di satu pihak, keprihatinan justru dirasakan di bidang ini. Setelah aspirasi formal di bidang politik mengalami gempuran demi gempuran hebat, dirasakan bidang kebudayaan sebagai “wilayah pertahanan” kritis, medan laga yang akan menentukan masa depan Islam di Indonesia. Keluhan dan peringatan para pemimpin Islam tentang “bahaya penetrasi kebudayaan Barat” adalah contoh dari keprihatinan tersebut, yang juga sejak cukup lama sudah terasa di kawasan-kawasan lain dunia Islam, terutama di Timur Tengah. (Gibb. 1962: 232-4).

Tetapi, dipihak lain justru sedikit sekali dirumuskan secara institusional pemikiran-pemikiran tuntas tentang bidang kebudayaan di negeri ini oleh gerakan-gerakan tersebut. Pendapat resmi mereka sulit dicari, kacuali pernyataan bahwa warna keagamaan (dalam hal ini Islam) haruslah menjiwai kebudayaan bangsa. Dari pernyataan-pernyataan seperti itu tampak jelas bahwa pemikiran tentang kebudayaan belum mencapai perkembangan jauh dalam lingkungan gerakan-gerakan Islam di sini. Di kawasan-lawasan lain dunia Islam berbeda sekali keadaannya, seperti dapat dilihat dari produk pemikiran gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Kamis, 09 September 1982

Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama

Seringkali dipersoalkan bahwa di satu pihak agama dapat membebaskan manusia dari atu himpitan struktural tertentu, tetapi di pihak lain agama sering tidak mampu melakukan hal itu.  Kita harus meninjau bahwa agama memang mempunyai dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu berlangsung lambat dan jangkauannya jauh sekali. Dalam hal ini kita seringkali tergoda oleh paradigma-paradigma di luar agama dengan menuntut sesuatu yang lain dari irama agama itu sendiri. Ini yang sering menjaid masalah. Misalnya, ada kekecewaan terhadappembaharuan yang dibawakan Abduh, karena ternyata dia dinilai borjuistis. Meletakkan Abduh dalam rangka borjuistis itu sudah merupakan suatu kesalahan, sebab dengan begitu kita meletakkan paradigma borjuisme kepada orang yang tidak mengerti apa itu borjuisme. Pada waktu Abduh hidup, pikiran-pikiran Marx belum berkembang secara diferensial antara Marxisme sebagai ideologi politik dan sebagai alat analisa sosiologis. Kita seolah-olah harus memaksakan harus memilih salah satu diantar adua hal tersebut. Ternyata dua-duanya tidak dan kita menjadi kecewa. Ini suatu kesalahan.

Misalnya juga di indonesia, kalau kita katakan bahwa para kyai Nahdlatu Ulama (NU) di pedesaan itu belum bisa berpikir secara struktural. Saya menanyakan apakah benar dalam situasi sekarang di mana informasi yang diperoleh sangat terbatas dan berbagai keterbatasan lainnya, kita pantas menyatakan mereka begitu. Juga kalau kita mengharapkan dari mereka ada perubahan yang drastis, radikal dan semesta sifatnya. Ini kalau kita berbicara tentang agama sebagai personifikasi dalam diri ulama atau elitnya.

Kita juga tidak bisa meminta agama untuk bersikap. Antara ajaran-ajaran agama dan elite agama terdapat suatu proses yang dinamis yang menginginkan adanya perumusan sikap-sikap baru. Saya setuju bahwa ada pola interaksi antara elite agama dengan ajaaran-ajaran agama. Tetapi apakah interaksinya sudah begitu jauh, sudah clear? Saya belum melihat ada hubungan yang simbolik antara keduanya.

Ajaran paling penting dalam agama adalah tentang Allah. Struktur agama memperkuat ajaran semula dan ajaran semula pada gilirannya memperkuat struktur agama, pada saat yang sama ia menjalankan peranan membebaskan manusia. Ini nampaknya dua langkah yang tidak ada titik singgungnya., begitu berbeda. Tetapi kenyataannya begitu itulah fungsinya dalam sejarah. Dalam gereja Katolik, pada perkembangan semula terjadi “kemacetan”. Setelah itu terjadi pertengkaran, ada reformasi lalu kontra reformasi. Tetapi yang jelas sampai sekarang ternyata gereja tetap saja memperkuat ajaran semula.

Dalam jangka panjang, antara struktur agama dan ajaran agamasaling memperkuat. Ini yang namanya formalisme. Islam pun demikian keadaannya, begitu juga Kristen. Pada mulanya diandaikan pembebasan, tetapi kemudian yang terjadi adalah proses saling menguatkan natara ajaran dan struktur.

Kita lihat misalnya, ideologi kesahidan para mullah di Iran . Apa yang diusahakan Ali Shariati itu hilang semuanya dalam waktu dua tahun. Yang namanya revolusi itu tidak ada lagi, yang ada justru penguatan institusi mullah, institusi republik Islam. Di mana pembembebasannya? Inti pembebasan adalah jika setiap orang bisa berkembang menurut pola yang dia inginkan. Kenyataan ini tidak berlaku di sana. Jadi menurut saya riskan sekali memasang paradigma agma pada paradigma sosial. Kita harus tahu batasan-batasannya. Janganlah agama dipakai sebagai alternatif terhadap kekuasaan.

Dlama proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan “sarana” bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut pertimbangan “dunia”-nya sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu.Begitu agama mengubah dirinya menjadi penentu, tidak lagi hanya mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia telah menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi, pada gilirannya dia bisa mengundang sikap represif. Agama menjadi represif, untuk memeprtahankan dirinya.

Rakyat di Lapisan Bawah Lebih Arif

Bagaimana peranan agamawan dalam menggerakkan masyarakat lapisan bawah untuk mengadakan perubahan sosial? Memang kebetulan ada sejumlah pastor atau kyai yang mengusahakan proses perubahna masyarakat dari bawah, dan kita harus belajar dari para agamawan itu. Mereka ini merupakan penjumlahan dari pengalaman total manusia yang menderita, yang mengalami sendiri masalah itu.

Selama ini kita mneganggap bahwa mereka tidak mampu menemukan jawaban atas masalah-masalah yang menhimpit hidup mereka. Saya justru beranggapan bukan mereka tidak mampu tetapi sedang dalam proses mencari jawaban. Dalam hal ini saya setuju dengan Tarzie Vittachi. Di mempersoalkan mengapa orang heran melihat rakyat yang melarat di Dunia Ketiga ini tidak mau berdemonstrasi menentang penggunaan bom nuklir, padahal itu merupak bahaya yang paling gawat bagi manusia. Apakah mereka begitu terbelenggu sehingga tidak tahu bahaya nuklir itu?Mereka tahu betul bahaya itu, mereka sadar akan bahaya kemampuan menghancurkan yang luar biasa dari suatu perang nuklir. Hanya masalahnya, memberikan reaksi yang langsung berhadapan dengan suatu kompleks industri militer sama saja menghempaskan diri ke karang.

Saya melihat bahwa rakyat lapisan bawah yang menderita di berbagai bagian dunia ini adalah rakyat yang arif, yang sudah punya polanya sendiri untuk menghadapi berbagai tekanan, baik kemiskinan dan keterbelakangan maupun belenggu yang sifatnya kultural. Dengan demikian jangan kita menganggap rakyat sepi  dari  kemampuan untuk melaksanakan perubahan total. Mereka tidak berbicara tentang revolusi, yang bicara soal itu adalh para avant garde. Bukan pengawal revolusi, melainkan rakyat sendiri yang mengawal revolusi kalau memang mereka butuhkan revolusi. Tetapi belum tentu mereka butuhkan revolusi; mereka mempunyai cara-cara penyelesaian sendiri.

Dalam soal ini, agamawan tidak bertindak sebagai pengawalrevolusi atau sebagai pemimpin. Sekali lagi mereka hanya menyediakan sarana.

Kita melihat apa yang dinamakan mass capitalism (kapitalisme rakyat) di Amerika, bagaimanapun ada peningkatan standr kehidupan yang baik walaupun pada waktu yang sama dibuat tamak lalu tergantung pada sindikat-sindikat uang. Tetapi itu adalah suatu proses untuk membebaskan diri dalam arti lalu mereka bisa berserikat, mereka lalu bisa menyatakn pendapat dan terutama mereka lalu bisa mengenal isunya. Alangkah bodohnya kalau kita menganggap bahwa rakyat kecil dalam suatu sistem kapitalsi dalam kehidupan di Amerika sebagai tidak tahu penyakiit mereka, sebagai orang yang terbelenggu tidak bisa lepas. Tidak, itu suatu yang sangat naif. Berkali-kali terbukti bahwa mereka bisa membebaskan diri, Martin Luther King adalah contohnya. Walaupun akhirnya mereka dikooptasi kembali ke dalam sistem, tetapi sistem itu toh mengalami perubahan. Nah, kita jangan lalu melihat kepada suatu kemungkinan saj, hanya satu garis liniuer: revolusi. Serahkan pada rakyat proses pembebasan itu, paradigmanya jangan dari kita. Apalagi kalau paradigmanya itu datang dari agamawan, sangat berbahaya. Dia mendukung dengan “otoritas sorga”. Ini hendaknya didampingi oleh kearifan bahwa kita tidak bisa menghempaskan diri ke karang. Kalau ada orang yang tidak bisa menghempaskan ke karang lalu mencari hal-hal gradual, dengan cara katakanlah opprtunistik, ini bukan berarti ia harus dikeluarkan dari perjuangan, ini bagian dari perjuangan. Kita harus berani mencari kawan dalam dalam struktur itu sendiri. Ini yang dinamakan pembebasan simultan. Atau yang sifatnya sangat kultural, evolusioner dan yang kalau dilihat sepintas lalu seakan-akan tidak ada akhirnya. Tanpa dampingan pihak ini maka yang terjadi adalah penyusunan tirani baru yang atas nama rakyat, ia bertindak semena-mena. Tidak ada check and balance. Itu yang terjadi di Nicaragua dan Kuba tidak ada pembaharuandan susahnya tidak tahu apa yang diperbuat. Suatu gerakan  pembebasan yang sebenar-benarnya dalah pembebasan yang tanpa dasar apapun kecuali manusia itu sendiri, jadi sangat eksistensialis.

Keragaman

Aspek lain yang saya lihat adalah keragaman jawaban agama yang jarang sekali ditekankan. Tadi kita melihat agama dalam suasana yang ragam, berdialog dengen ideologi, dengan kekuasaan dan dengan apa saja. Tapi yang kedua adalah dida;am keberagaman ekstern itu agama juga mempunyain keberagaman intern. Aspek ini juga bisa kita singgiung secara sambil lalu, kita hanya beri tekanan kepada spek yang sifatnya pembebasan langsung. Apakah kita sudah memberikan perhatian penuhdan adil kepada keberagaman itu. Ini pertanyaan. Kita bisa mengkritik keras lembaga-lembaga agama seperti DGI, MAWI, atau MUI. Tetapi ini berarti tidak ada toleransi terhadap kemajemukandi bidang intern. Kita sudah tahu kesuliatan MAWI, kesulitan DGI, kesulitan MUI, dalam menghadapi keadaan keragaman ekstern yang besar  Kita menuntut terlalu banyak dari merka. Tapi yang penting disitu apakah kita sudah memberikan perhatian yang besar. Kalau belum artinya sebelum mengoreksi kekuasaan kita sduah hantam kawan sendiri. Jadi akhirnya membawa kepada kita satu masalah bagaimana mengembangkan pola komunsikasi intern dalam kemajemunkan itu.

Bulan Maret yang lalu saya pergi ke Peru dan melihat sendiri kerja kelompok-kelompok yang sduah dimotivisir oleh teologia pembebasan.. Sya berbicara dengan Guiterez, tokoh “teologia pembebasan” Katolik di Amerika Selatan. Di satu pihak, dalam suatu wawancara sehubungan dengan ulangtahun sepuluh tahun teologia pembebasan, ia masih menyatakan bahwa agama ini harus memberikan jawaban yang radikal. Tapi pada saat yang sama saya melihat bahwa dia cukup sadar untuk mematangkan diri. Ia memang masih tetap radikal, tapi dalam keradikalannya ia tahu batasnya sendiri. Mungkin perlu sekali kita renungkan kearifan seperti itu.

Sabtu, 21 Agustus 1982

Kasus Terjemahan H.B. Jassin

Akhirnya, terjemahan Al Qur'an yang dilakukan H.B Jassin jadi juga terbit cetakan keduanya. Bacaan Mulia, penerbit Yayasan  23 Januari 1942, Jakarta, 1982, xxxviii +891 halaman.

Cetakan kedua itu terbit di sekitar hari ulang tahun Jassin yang ke-65, menjadi semacam hadiah ulang tahun baginya. Mungkin sebagai persiapan memasuki "masa pensiun"walaupun dalam kenyataan tidak akan pernah ada masa seperti itu bagi orang seperti penerjemah yang satu ini.

Tentu saja suara yang menentang dan tidak menyetujui kerja Jassin itu juga akan berkumandang lagi. Walaupun mungkin tidak akan seramai dulu. Argumentasi demi argumentasi akan dilancarkan, mungkin sebagian besar pengulangan apa yang telah dilontarkan di masa lalu.

Sabtu, 17 Juli 1982

Piala Dunia '82 dan Landreform

Sungguh mati kawan satu ini membuat bingung orang. Ia mengajukan teka teki aneh: apakah persamaan antara  perebutan Piala Dunia sepakbola untuk tahun 1982 ini dan Landreform?

Siapa tidak garuk-garuk kepala mencari hubungan antara dua hal yang begitu berbeda itu.

Menurut jenius kampungan ini ( dan semua jenius memang kampungan), ada satu watak pertandingan-pertandingan 'Mundial 1982' di Spanyol sekarang. Yakni menangnya pola ' bermain bola negatif'.

Contohnya: bagaimana mungkin kesebelasan Jerman Barat, yang harus main sabun untuk bisa lolos ke putaran kedua, setelah kalah dari kesebelasan tingkat sedang  Aljazair, dan hanya mampu mencapai semi final karena perbedaan selisih gol, kenapa kesebelasan macam itu bisa memiliki peluang sangat besar untuk jadi juara?

Senin, 28 Juni 1982

Tuhan Tidak Perlu Dibela

Sarjana X yang baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke tanah air. Delapan tahun ia tinggal di negara yang tak ada orang muslimnya sama sekali. Di sana juga tak satu pun media massa Islam mencapainya.

Jadi pantas  sekali  X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di mana saja ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim. Dalam khotbah Jum'at yang didengarnya seminggu sekali. Dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da'i.

Kamis, 10 Juni 1982

Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme

Selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis, umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad. Marxisme-Leninisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan negara-negara (dalam artian pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.

Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka agama Islam dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiaya Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan.

Sabtu, 10 April 1982

Ornop: Benarkah Untul-Untul?

Dalam sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka gerakan nonpemerintah membuat analogi dengan budaya keraton di Jawa. Organisasi nonpemerintah (ornop) yang berkiprah di bawah, untuk meningkatan kualitas hidup masyarakat, punya fungsi yang unik. Yaitu sebagai bulan-bulanan rasa tidak senang aparat pemerintahan di daerah, bahkan di lapangan. Dianggap saingan berat yang dapat mematikan 'usaha'pemerintah sendiri. Ini sama dengan kedudukan sejenis mahluk istimewa dalam budaya keraton (Jawa), disebut untul-untul (huruf t menurut lidah Bali dan Aceh). Mereka para pengawal bangsawan Jawa.

Karena terpisah sama sekali dari komunikasi dengan rakyat banyak, kecuali melalui laporan petugas keraton sendiri, para bangsawan sering kesepian. Untuk diajak berbincang-bincang dan meramaikan suasana, diangkatlah untul-untul: tidak lagi menghibur secara aktif, melainkan secara pasifdengan menyediakan badan sendiri sebagai sasaran pelampiasan. Dengan kata lain harus bersedia ditempeleng sekali-kali.

Sabtu, 03 April 1982

Dakwah Harus Diteliti

Sebenarnya sudah lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina pejabat tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan berbau SARA? Apalagi contohnya sudah banyak - seperti kasus Imran. Bagai racun, dakwah yang diberikannya secara eksklusif kepada bekas anak buah sudah membuahkan perbuatan-perbuatan krimiminal.

Ada juga yang dilakukan sejumlah lembaga - seperti Kodi ( Koordinator Dakwah Islam ) DKI Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu  dan kini? Bagaimana dakwah dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga - seperti acara lokakarya 'Dakwah di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu.

 Juga pendidikan dakwah dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Disamping itu diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan berbeda-beda; narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah seterusnya. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif.

Persoalannya justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Apakah ukuran yang digunakan?  Banyaknya pengunjung? Bukankah  banyak di antara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimana  diterangkan pola perilaku mereka yang diluar forum dakwah, tidak berubah banyak?  Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi:  pakai tutup kepala bagi wanita, rajin ke mesjid bagi sementara, getol mendermakan uang bagi yang kaya.

Seminar Palembang

Di sinilah perlu direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang diseminarkan di Palembang baru-baru ini. Dari jawaban, umumnya responden ternyata menganggap hidup hanya untuk bekerja. Fungsi kerja umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah sedikit banyak dikaitkan dengan pertimbangan antar-ganerasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali orang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal mengabdi .

Cukup mengejutkan, bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan komunitas-komunitas yang di teliti ? Kenyataan itu wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain : perhatian warga masyarakat masih terpusat pada upaya bertahan sekedar hidup. Maklumlah masih banyak yang berada pada tahap hidup di bawah garis kemiskinan mutlak.

Memang, di luar, dalam pengamatan lahiriah tampak muncul kebutuhan kepada ritus keagamaan dalam skala masif, seperti terbukti dari derasnya  'back to mosque' . Tetapi lalu muncul pertanyaan : apakah 'kebangkitan  Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta" untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual?

Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid, dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman iman serta keterlibatan yang lebih bermakna. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan disini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran Agama.

Agama mengajarkan kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita  terungkap, oleh penelitian di atas,"menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi yang dalam kenyataan sebaliknya yang terjadi. Kesenjangan besar antara si kaya dan si mikin adalah bukti paling kongkrit.

"Khatibin nas 'ala qadri'uqulihim", kata Nabi Muhammad: Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah. Bukankah diktum nabi itu justru mengharuskan kita menelaah pelapisan  masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya - seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan  hiburan bagi pengunjung. Tetapi dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan kongkret yang sedang dihadapi.

Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekedar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti  kerangka ritual yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan kepada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama.

Hasil penelitian diatas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan pengabdian menunjukkan betapa salahnya 'agenda dakwah' yang disebutkan terdahulu itu. Ternyata tujuan dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup bermasyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari - oleh para pemikir dan penentu  kebjaksanaan keagamaan Islam kita - bahwa efektivitas dakwah masih harus diteliti?

Sabtu, 20 Maret 1982

Sumbangan untuk Kontestan Keempat?

Bangsa kita memang pandai mengalihkan arti suatu istilah yang sudah baku. Lihat  saja kata ‘kontestan pemilu’, yang diartikan ketiga peserta dalam  pemilihan  umum 1982 ini: Golkar, PDI dan PPP  (disusun berdasar Prioritas abjad, bukan nomor undian ). Padahal menurut pengertian aslinya, kontestan adalah mereka yang berlawanan merebut kemenangan terakhir dalam pertandingan.

Di negeri ini, menurut tatakrama Demokrasi Pancasila, pola seperti itu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Mau menang sendiri, dengan mengalahkan orang lain. Kalau itu musuh politik, dapat dibenarkan .Golkar, PDI dan PPP ‘kan tidak demikian. Mereka kan “partner dalam kehidupan politik”. Bukan musuh. Karenanya , tujuan yang dianggap sesuai dengan tatakrama Demokrasi Pancasila adala “menarik suara sebanyak-banyaknya untuk mensukseskan pembangunan Nasional”.

Sabtu, 20 Februari 1982

Islam Kaset dan Kebisingannya

SUARA bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.

Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.

Tetapi ternyata ada “persembahan” berirama, yang menampilkan suara lantang. Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.