Tetapi, dipihak lain justru sedikit sekali dirumuskan secara institusional pemikiran-pemikiran tuntas tentang bidang kebudayaan di negeri ini oleh gerakan-gerakan tersebut. Pendapat resmi mereka sulit dicari, kacuali pernyataan bahwa warna keagamaan (dalam hal ini Islam) haruslah menjiwai kebudayaan bangsa. Dari pernyataan-pernyataan seperti itu tampak jelas bahwa pemikiran tentang kebudayaan belum mencapai perkembangan jauh dalam lingkungan gerakan-gerakan Islam di sini. Di kawasan-lawasan lain dunia Islam berbeda sekali keadaannya, seperti dapat dilihat dari produk pemikiran gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Beberapa hal dapat diperkirakan menjadi sebab keadaan itu, tetapi yang terpenting mungkin adalah watak responsi “golongan Islam” di negeri ini terhadap tantangan modernisasi semenjak lebih seabad yang lampau. Keragaman sangat tinggi dalam responsi yang diberikan, sehingga tampak sporadis secara keseluruhan, tidak memungkinkan pengambilan keputusan formal yang diikuti bersama, dan dengan demikian tidak memunculkan kebutuhan akan perumusan sebuah sikap bersama terhadap modernisasi. Dengan demikian keadaan itu membawa kepada langkanya kebutuuhan akan sebuah “politik kebudayaan” yang jelas dan terpadu. Pendekatan yang diambil lalu berwatak kultural, bukannya strategis,: kesadaran “umat” dituntut untuk menghindari pengaruh buruk kebudayaan yang tidak bernafaskan semangat keagamaan Islam , tanpa adanya konstitusi yang bertugas khusus menangani dasar-dasar pengembangan sebuah “kerangka kebudayaan Islam”. Perkembangan kebudayaan yang akan diberi nama “kebudayaan Islam” lalu berlangsung tanpa ada gambaran jelas tentang apa yang diinginkan akan tercapai, kecuali patokan umum bahwa ia tidak akan “melanggar ajaran agama Islam”.
Implikasi dari hasil perngamatan di atas adalah keharusan menggali bukan dari keputusan-keputusan formal berbagai gerakan Islam yang terorganisir, kalau ingin diketahui persepsi mereka tentang kebudayaan, melainkan dengan melakukan telaahan atas pendangan para pemikir dan pemuka gerakan yang beraneka ragam corak dan bobotnya. Dengan melakukan inventarisasi pendapat dan pandangan mereka, akan dibuat proyeksi tentang “persepsi gerakan Islam” tentang kebudayaan, baik dalam lingkup parsial maupun global. Sudah tentu tidak dapat dihindari besarnya keragaman pandangan antara pendapat-pendapat yang dikumpulkan. Walaupun demikian, beberapa bagian yang sama dari pendapat yang sangat beragam itu sudah cukup untuk memungkinkan pembuatan persepsi proyektif yang dimaksudkan di atas.
Dapat dikemukakan sebagai contoh pengertian mereka atas kata “kebudayaan”, yang memperlihatkan kesamaan dasar. Hamka memandangnya sebagai perpaduan antara keimanan seseorang dan apa yang dikerjakannya (Hamka & Saimima, 72-3). Sidi Gazalba memandangnya sebagai “kebulatan konsep tentang sosial, ekonomi, politik, pengetahuan , teknik, seni, dan filsafat”. Karenanya, “kalau masjid menjadi tempat yang hanya didatangi oleh sebagian kecil umat Islam di sekitarnya, maka yang wujud hanyalah masyarakat orang-orang Islam, yaitu orang-orangnya Islam karena beragama Islam, tetapi masyarakatnya bukan Islam karena tidak berkebudayaan Islam dan tidak mengamalkan cara hidup Islam” (ibid, 181). Menurut Haji Agus salim, kebudayaan berarti “himpunan segala usaha dan daya upaya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan” (Salim, 1954:300).
Jelas dari gambaran yang mereka berikan bahwa mereka menggunakan pengertian “kultur” yang berarti totalitas kehidupan manusia dalam konsep mereka tentang kebudayaan. Yang sedikit berbeda dalam arti tidak merumuskannya secara jelas adalah Nurcholis Madjid, yang berbicara tentang keharusan “meninggalkan gagasan-gagasan tradisional yang dianggap ukhrowi, walaupun sebenarnya merupakan bagian dari pola-pola kebudayaan belaka” (Boland, 1971: 222). Kalau Hamka, Gazalba, dan Haji Agus Salim menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang berpadu dengan agama atau keimanan, maka Nurcholis Madjid menganggapnya sebagai sesuatu yang berdiri di luar keimanan agama.
II
Para pemikir dan pemuka gerakan Islam memiliki pendapat yang hampir bersamaan tentang tempat kebudayaan dalam kehidupan, yaitu sebagai bagian sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat, melalui berbagai pranata dan lembaga. Pranata dan lembaga yang tak terbilang itu merupakan manifestasi dari sebuah kerangka umum kehidupan, yang akan menentukan corak dan warna kehidupan, arah dan orientasinya, serta lingkup dan wawasannya. Dengan demikian menuntut pandangan mereka, kesemua prasangka dan lembaga yang ada dalam sebuah masyarakat adalah subsiten dari sebuah sistem besar yang bernama kebudayaan. Ekonomi, politik, kesenian, ilmu pengetahuan, dan seterusnya adalah deretan subsistem yang secara total membentuk entitas yang baru yang dinamai kebudayaan itu, walaupun pada dirinya masing-masing adalah sebuah sistem tersendiri yang lengkap dengan pranata dan kelembagaanya yang kompleks pula.
Adalah menarik untuk melihat tempat pendidikan dalam “tata istem” di atas. Pendidikan sekaligus adalah sebuah subsistem bagi kebudayaan dan sistem tersendiri yang berada di luarnya, yang menunjang pembentukan, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan. Sebagai sebuah subsistem, pendidikan adalah bagian terpenting dari kebudayaan, berfungsi sebagai pengarah kebudayaan dan sekaligus mekanisme pewarisan nilai-nilai budaya sesuatu masyarakat dari satu ke lain generasi. Sebaliknya, sebagai sebuah sistem tersendiri ia ditunjang oleh kebudayaan untuk membantu perkembangan hidupmanusia, baik perorangan maupun kelompok, ke arah yang dikehendaki oleh ajaran islam. Dengan demikian, antara pendidikan dan kebudayaan terjadi hubungan simbolik – mutualistis. Secara eksplisit hal ini dinyatakan berulangkali oleh sejumlah pemikir dan budayawan muslim, suatu hal yang tidak begitu mereka tuntut dari subsistem lainnya terhadap kebudayaan. Memang Islam menganggap politik memiliki arti pengarah bagi kebudayaan, apabila ia berfungsi mnciptakan keputusan yang dapat mengarahkan jalur kegiatan mereka dalam pandangan mereka. Namun fungsi pengarahan itu tidak lalu menjadikan subsistem politik sebagai sesuatu yang terlepas dari kebudayaan. Mungkin ini datang dari pandangan mereka yang cukup unik tentang politik: ia adalah unsur penunjang yang memiliki moralitas yang harus ditentukan wawasan dan lingkupnya oleh sebuah sistem lain lagi. Dalam Islam tidak diakui independensi total bidang politik, dalam arti diperkenankan mengembangkan nila-nilainya sendiri. Politik adalah bagian dari moralitas kaum muslimin, karenanya ia harus tunduk pada sistem yang membentuk cakrawala kehidupan sebuah masyarakat muslim. Pendidikan dan kebudayaanlah yang justru memiliki peranan pengarahan bagi politik itu.
Hubungan simbiotik mutualistis antara pendidikan dan kebudayaan itu tumbuh dari persepsi Islam yang tersendiri mengenai pendidikan. Baik secara historis (karena ada landasannya sendiri dalam tradisi kenabian) maupun secara kultural, Islam menekankan pentingnya arti pendidikan, terutama karena melalui pendidikanlah berkembang dua hal yang paling diinginkan dalam pribadi seorang muslim: pemahaman yang benar tentang sendi-sendi keimanannya, dan moralitas benar (right morality) yang menjadi pengejawantahan pemahaman benar tersebut. Tekanan pada penumbuhan watak “serba benar” dari keimanan dan moralitas itu sudah tentu tidak bisa lain dari pemberian tempat begitu penting kepada pendidikan, sebagai sesuatu yang secara sistematik memiliki keberadaan di luar kebudayaan.
Dapat disimpulkan dari hubungan antara kebudayaan dan pendidikan seperti digambarkan di atas, bahwa para pemikir pemuka gerakan Islam membagi kerja penumbuhan moralitas dan pemahaman keimanan yang benar itu ke dalam dua wilayah utama: wilayah konsepsional dalam arti luas di bawah tanggungjawab sistem kebudayaan dan wilayah penerapan konsepsi itu di bawah tanggugnjawab sistem pendidikan. Pemberian sarana saling melengkapi antara kedua sisitem itu dengan sendirinya menunjukkan perlakuan Islam yang unik atas kedua bidang itu: di satu pihak diberi keluasan untukberfungsi di luar sistem lainnya, di pihak lain telah dibatasi ruang geraknya oleh pembagian tersebut.
III
Kesejajaran dalam hubungan antara kebudayaan dan pendidikan justru tak terlihat dalam hubungan antar ajaran Islam dan kebudayaan. Kebudayaan dalam pandangan gerakan Islam sebagaimana diwakili pandangan para pemikir dan pemukanya, adalah sesuatu yang subordinat kepada kebenaran ajaran agama. Di sini “kebenaran” berfungsi kebar selaku obyek yang dijadikan sasaran hidup berbudaya itu sendiri dan sekaligus elemen operasional yang menjamin keberhasilan pencapaian usaha tersebut. Karena fungsi kembarnya itu, ajaran agama memiliki kedudukan “superordinat” terhadap kebudayaan: ia sekaligus menjadi salah satu unsur kebudayaan, namun juga menjadi penentu watak dan corak kebudayaan yang akan dikembangkan. Dalam arti inilah para pemikir dan pemuka gerakan Islam mengajukan rumusan mereka, yaitu “Islam harus menjiwai kebudayaan”.
Fungsi agama terhadap kebudayaan dengan demikian merupakan gumpalan dua fungsi lain: fungsi inspiratif bagi kebudayaan dalam arti memberikan kekuatan pendorong bagi hidup berbudaya, dan fungsi normatif dalam artian mengatur dan mengarahkan hidup berbudaya itu sendiri ke jalur yang dibenarkan oelh keimanan seorang muslim. Dalam fungsi inspiratifnya, Islam menyediakan sejumlah nilai dasar maupun nilai derivatif yang melandasi deretan subsistem yang membentuk kebudayaan. Nilai-nilai itu ada yang diserap oleh masing-masing subsistem dalam bentuk abstrak (seperti kewajiban, elan, dan sumber pemikiran) maupun kongkret (kelembagaan, moralitas, dan sebagainya).
Pada titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari ajaran inilah muncul sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama, huruf besar yang menunjukkan klaim kebenaran yang tunggal bagi dirinya, yang juga menjadi pengertian kalau digunakan istilah The Religion of Islam). Islam sebagai sang Agama adalah satu-satunya kerangka umum kehidupan yang benar, dan oleh karenanya harus dilaksanakan secara total tanpa adanya aspek yang tertinggal satupun. Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari’at), dan pola pengembangan aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia.
Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan, dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antar kaum muslimin dan yang bukan muslim diatur di dalamnya. Dalam totalitas seperti itu tidak ada perbedaan natara aspek duniawi dan aspek ukhrawi dari hidup manusia, karena semuanya saling menunjang dalam geraknya. Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada perbedaan lagi.
Dalam fungsi mengikat dan amenjalin keserasian antara semua wilayah kehidupan, Islam sebagai Ad-Din dengan sendirinya menolak sekularisme yang masih membeda-bedakan corak kegiatan masyarakat antara yang “berwarna agama” dan “yang berwarna duniawi”. Ini berarti penolakan pula atas kebenaran klaim adanya “kebudayaan” dalam pola kegiatan yang terlepas dari wawasan keagamaan (dalam hal ini Islam). Kata “kebudayaan” hanya patut dipakai oleh pola kehidupan yang bersumber pada aspirasi keagamaan (dalam totaltasnya, yang menyangkut apa yang berada di luar wawasan sempit keagamaan selama ini) dan mengikuti batasan-batasan normatifnya.
Terlepas dari variasi sangat beragam dalam perincian persoalan yang dirumuskannya, pola Islam sebagai Ad-Din itu adalah pola yang diikuti oleh kebanyakan para pemikir dan pemuka gerakan Islam di negeri ini, walaupun cukup kuat pula kedudukan mereka yang mempertanyakan keabsahan eksposisi kebenaran agama secara demikian itu. Masa depan sajalah yang akan menunjukkan kecenderungan mana yang benar-benar mewakili persepsi gerakan Islam tentang kebudayaan.
*Makalah dalam Seminar Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, LRKN-LIPI, Jakarta, 13-15 September 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar