Pondok Pesantren, dua patah kata yang mengungkapkan sejarah masa lampau yang kompleks. Pondok menggambarkan bentuk tarekat. Kata itu berasal dari kata Arab, Funduq, artinya tempat warga tarekat menyepi dari pola hidup sehari-hari. Pesantren dalam pada itu menunjuk pada asal-usulnya yang pra-Islam—ketika para ahli agama Hindu dan Budha mulai mendalami agama baru mereka, Islam, dibawah bimbingan sejumlah ulama. Guru, yang umumnya berkebangsaan bukan Indonesia asli, menjadi orang yang dituakan. Ialah ‘orang tua’ yang dalam bahasa Arab berbunyi Syaikh dan dalam bahasa Jawa disebut Kiai.
Pola watak tarekat itu, dan persambungannya yang kuat dengan masa kehidupan beragama model pra-Islam, menjadikan pondok pesantren sebuah lembaga keagamaan yang khas—yang justru menyediakan kedamaian dan ketenangan di tengah masyarakat yang dinamis.
Pesantren sebenarnya lembaga perkotaan. Sebab pusat-pusat kehidupan muslimin pada mula sejarahnya, di Pulau Jawa, terletak di pesisir sebelah utara, di kota-kota perdagangan. Dan pondok pesantren sebagai tempat mencari ketenangan, justru terletak di tengah kesibukannya. Seperti Sinagog Yahudi, atau biara Budha di Asia Tenggara. Bukan seperti biara Kristen di Timur Tengah dahulu, yang umumnya terletak di tengah kesepian gurun.
Kuatnya watak pondok pesantren ini masih tampak nyata, walau selama dua-tiga ratus tahun terakhir ini ia digusur ke pedalaman oleh perkembangan sejarah. Yaitu oleh gabungan konfrontasi sosial-ekonomis melawan Kompeni Belanda, dan tekanan-tekanan kraton pusat di pedalaman. Watak kekotaan masih dapat dilihat pada keceptan komunikasi di kalangan pondok pesantren, dan cara-cara memobilisasi pendapat umum melalui penyadaran massal dalam rapat-rapat umum dan sebagainya.
Tetapi sekali pondok pesantren menjadi ‘lembaga pedesaan’, tanpa kehilangan watak kekotaannya, ia dihadapkan pada sebuah situasi baru sama sekali—dan dituntut mencari pemecahan-pemecahan baru. Kecenderungan masyarakat desa untuk mengutamakan konsensus (yang akan mengakibatkan pondok pesantren bisa ‘ditelan hidup-hidup’ oleh pemerintah setempat) dihadapi dengan menciptakan komunikasi langsung dengan pusat-pusat kekuasaan di ibukota kerajaan. Juga dengan mengembangkan komunikasi cepat antar pesantren tadi.
Dalam pada itu, ketergantungan pada patronase kelompok pemilik tanah dan petinggi di desa, diimbangi dengan operasionalisasi tata niali ‘kesantrian’ di semua pondok pesantren di tanah air. Yang terakhir itu ditunjang oleh sistem ‘santri keliling’, yang belajar berjenjang vertikal maupun horisontal, dari satu ke lain pesantren. Penggunaan teks-teks utama, yang boleh dikata bersamaan di semua pondok pesantren, dan ketundukan mutlak pada otoritas moral sang kiai, adalah bentuk paling tampak di permukaan tata nilai terebut. Juga kecenderungannya untuk mencurigai kekuasaan—yang oleh Kaskopkamtib dinamai watak anti srtuktur yang populistis.
Tetapi generalisasi seperti itu sebenarnya tidak mengena seratus persen. Karena ia biasanya digunakan dalam pengertian budaya politik khas pedesaan: penolak dominasi sebuah struktur-atas oleh struktur-bawah yang lebih besar kuantitas warganya. Padahal dalam masalah kecenderungan pondok pesantren, kecurigaan kepada kekuasaan hanyalah sekadar mekanisme kultural untuk menghindari ketergantungan pada patronase pejabat dan orang kaya lokal. Bukan penolakan terhadap kekuasaan yang disahkan oleh sumber legitimasi di ibukota negara.
Demikianlah pondok pesantren suatu lembaga pendidikan yang penuh sarat dengan nilai-nilai normatif. Tidak peduli asal-usulnya yang serba urban. Juga tiadak peduli pergantian orientasi kehidupannya. Dari yang serba tarekat menjadi serba fiqh, hukum agama, yang menegakkan dominasi ahli hukum atas ahli tarekat. Bertasawuf dirumuskan kembali: tidak berarti keterlibatan dengan gerakan tarekat, melainkan penerapan akhlak tasawuf. Pondok pesantren lalu cenderung kehilangan watak pondoknya, dan lebih menekankan kepesantrenannya. Tetapi mungkin justru orientasi serba fiqh itulah yang mendorong makin kuatnya kedudukan nilai-nilai normatif: fiqh sendiri adalah kerangka dasar untuk menumbuhkan pola sikap dan pemikiran yang sangat normatif. Dan kemandirian, yang oleh sementara orang (termasuk penulis ini, beberapa tahun lalu) diidealisasikan sebagai watak utama sistem pendidikan di pesantren, sebenarnya tidak lain dari salah satu bentuk penghayatan serba normatif itu.
Hanya saja, kemandirian lalu menjadi sesuatu yang rawan, ketika ia kehilangan tumpuan normatifnya. Yakni ketika menjadi pegawai dan suruhan orang tidak dipandang buruk oleh agama. Tanpa tumpuan normatif, norma-norma yang selama ini dianggap ‘hak paten pesantren lalu memudar, sedikit demi sedikit.
Apalagi ketika orientasi fiqh sendiri mengalami kemunduran. Fiqh yang mendasari norma-norma, dan yang menjamin tegaknya kerangka normtif kehidupan pesantren, mulai ‘berkurang pasarannya’ ketika orang pesantren sendiri memalingkan pandangan pada hal-hal lain: ideologi, perjuangan politik, organisasi, penetrasi kebudayaan moderen, dan seterusnya. Kecenderungan menjadi pegawai negeri mencari persyaratan hidup berupa ijazah dan sebagainya, adalah akibat dari sudut penglihatan kesadaran akan masalah relevansi fiqh kepada orientasi lain.
Masalah pokok pesantren yang dihadapi dewasa ini, dengan demikian, adalah berikut: dapatkah orientasi serba fiqh dipertahankan untuk jangka panjang? Kalau tidak, apa penggantinya? Kalau dapat, dengan cara apa?
Beberapa perkembangan patut dikemukakan. Upaya sejumlah kiai pesantren untuk mengaktualkan fiqh dengan melakukan ‘penggalian’ ajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman, harus dipahami dari sudut penglihatan kesadaran akan relevansi fiqh itu sendiri.
Jelasnya, fiqh harus ditampilkan dalam ‘baju baru’ yang di dukung sektor-sektor lain—seperti pemikiran tentang pembangunan, pembaharuan pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok dan seterusnya. Sarana penerapan fiqh yang sudah mengalami ‘pemolesan’ juga perlu dipersiapkan: kegiatan pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, pendidikan keterampilan dan lain-lainnya.
Rupanya, di pesantren pun tidak terelakkan lagi keharusan memelihara kesinambungan. Tidak ada kegiatan mendadak yang radikal, meninggalkan akar kesejarahannya sendiri, yang bisa “memecahkan” masalah dengan membuat peta permasalahan yang sama sekali baru. Perkembangan masa lampau, dari orientasi serba tarekat menjdi orientasi fiqh, ternyata menemukan penerusannya sebagai masalah.
Setidak-tidaknya itulah yang dapat disimpulkan, dari upaya sementara kiai untuk ‘menyegarkan’ pandangan keagamaan melalui ‘penyegaran’ fiqh. Sebuah proses pematangan yang dimaksudkan untuk memungkinkan fiqh mengintegrasikan diri ke dalam hidup moderen, tanpa terlalu banyak mengorbankan identitas dirinya sendiri. Bagaimana kalau upaya itu gagal? Mudah-mudahan orang memafkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar