Setelah 20 tahun dalam tahanan, bekas presiden Aljazair Ahmad Benbella mendapat status sebagai orang bebas.
Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek bagi seseorang, apalagi bagi tokoh yang menjadi aktivis gerakan kemerdekaan semenjak usia muda.
Dalam usia 61 tahun ia kembali jadi seorang manusia 'normal', setelah enam tahun di penjara Perancis dan empat belas tahun ditahan tanpa tuduhan oleh penggantinya, mendiang bekas presiden Hawari Boumedienne. Baru setelah Boumedienne meninggal dunia dan Benjedid Chazli menggantikannya, Benbella memperoleh kemerdekaannya.
Walaupun belum diketahui dengan pasti sejauh mana hak-hak sipilnya telah dipulihkan, bulan ini ia akan muncul dalam seminar tentang hak-hak asasi dalam Islam yang diselenggarakan oleh Dewan Islam Eropa di Paris.
Sungguh tepat pilihan Benbella sebagai salah seorang pembicara. Perjuangannya untuk membebaskan, kemudian memimpin , bangsa Aljazair harus ditebusnya dengan menghabiskan sepertiga usia hidupnya – sebuah perampasan luar biasa atas hak-hak asasinya sendiri!
Di samping itu, 'kembali'-nya Benbella kepada ajaran Islam sekaligus menempatkan dirinya dalam barisan orang-orang yang dicari-cari oleh oleh Dewan Islam Eropa dan sejenisnya. Renungannya selama dalam tahanan semakin lama semakin cenderung kepada watak keagamaan. Menarik kilatan pikirannya yang dimuat dalam sebuah wawancara dengan Mingguan berbahasa Arab yang terbit di London, bernama Almajallah. Wawancara yang dimuat dalam edisi 11 Juli yang lalu itu sekaligus mengungkapkan banyak hal tentang diri Benbella.
Pertama adalah kepribadiannya. Walaupun begitu lama ia harus menjalani masa tahanan, ternyata ia tidak merasa dendam terhadap siapa pun, termasuk kepada penguasa yang menahannya. Yang terpenting baginya adalah ia tidak pernah diperlakukan hina selama dalam tahanan.
Tidak Eksklusif
Memang benar selama enam tahun pertama masa penahanan bangsanya sendiri ia tidak pernah mendengar suara manusia sama sekali ( mungkin mereka dilarang berbicara dengan Benbella), tetapi ia menganggap keseluruhan masa tahanan itu sebagai masa untuk belajar dan membaca sebanyak mungkin.
Wawancara tersebut juga menyajikan dimensi berpalingnya kembali ia kepada ajaran Islam. Banyak orang menuduhnya berbuat demikian untuk tujuan politik, sebagai semacam cara kembali ke gelanggang kekuasaan. Tetapi ia justru mengemukakan sebuah latar belakang yang menarik bagi penggaliannya kepada ajaran Islam itu.
Ia berpaling ke sana setelah mendapati kekurangan mendasar dalam peradaban Barat Kontemporer. Ia dapati Islam menyajikan pemecahan bagi banyak masalah fundamental dunia moderen.
Tetapi kesadaran seperti itu berarti penolakan sama sekali kepada jalan hidup yang dikenal dengan nama peradaban barat itu. Ia masih mengakui banyak aspek positif dari peradaban tersebut, yang dapat dipelajari kaum muslimin untuk memperbaiki keadaan mereka sendiri. Karena itu ia menyatakan dirinya tetap sebagai seorang sosialis: berpalingnya Benbella kepada ajaran Islam tidak menjadikannya ingkar terhadap ideologi politik yang dianutnya sejak muda.
Proses berpaling kembali ajaran agama tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang eksklusif terhadap ideologi dan pandangan lain ini patut direnungkan, karena ia menyajikan dimensi keagamaan yang tidak dicabut dari kenyataan hidup.
Toh penghayatan keagamaannya tidak menjadi kurang intensif meskipun tidak ada watak eksklusif itu dalam dirinya. Ia menyatakan pengalaman sewaktu berada di depan Ka'bah sebagai “pengalaman terdahsyat” dalam hidupnya.
Akhirnya, menarik juga untuk diamati bagaimana interaksi antara ideologi yang semula dianutnya dan daya tarik yang dirasakannya kepada ajaran Islam.
Keyakinan sosialistisnya akan kesamaan dan persamaan derajat manusia dalam kehidupan, setelah dimatangkan oleh formula keagamaan tentang persamaan hakiki antara manusia itu sendiri secara manusiawi, akhirnya membawa Benbella kepada kemampuan melepaskan diri dari kungkungan institusional yang umumnya mencengkam kaum revolusioner sosialis: pendewaan sistem, kemasyarakatan sosialistis sebagai pemecahan struktur tunggal.
Kesalahan Partai Tunggal
Benbella dulu adalah penganut paham ini,seperti tampak dalam keterlibatannya dalam pembentukan Front Pembebasan Aljazair sebagai partai satu-satunya yang memerintah negeri itu semenjak kemerdekaan di tahun 1962. Ia pernah menjadi Sekjen partai politik itu, dan kemudian presiden negara yang tidak mentolelir pluralitas kehidupan politik itu. Ia adalah penganut setia dari konsep Lenin tentang pengawalan revolusi oleh sekelompok kecil, yang memperjuangkan secara tuntas kepentingan rakyat yang tertindas .
Nah, sudah barang tentu sebuah pembalikan totallah yang dilakukannya ketika ia menyatakan pikirannya tentang penataan kehidupan politik. Ketika ditanya pelajaran terbesar apakah yang diperolehnya dari masa penahanan sekian lama itu, dengan singkat ia menjawab: kesalahan pemikiran tentang partai tunggal.
'Pengakuan' dramatis dari seorang pejuang revolusioner sosialis yang mencapai puncak kekuasaan melalui sistem partai tunggal! Alangkah tragis kalau pelajaran berharga yang diperoleh Benbella dengan pengorbanan begitu besar itu kita sia-siakan begitu saja. Bukankah sehat untuk berpaling kepada ajaran Islam dengan pematangan pandangan politik seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar