Sabtu, 05 November 1983

Ramai-ramai Menolak Adopsi

Berbeda dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita. Mulai dari bisnis industri macam-macam hingga bisnis olah raga, semuanya memakai bapak angkat. Bahkan pemerintah turut mencanangkan sistem  pengembangan suatu sektor  kehidupan masyarakat dengan menggunakan bapak angkat. Peringatan para cendekiawan bahwa sistem bapak angkat nantinya akan macet ditangan anak emas, sering tidak dihiraukan

Tetapi persoalannya ternyata tidak begitu mulus dengan jenis bapak angkat lain, yang berhubungan dengan adopsi. Banyak pro-kontranya. Yang setuju, tentu, mula-mula para perantara yang mengusahakan adopsi - apalagi yang memperoleh laba besar. Sesudah itu orang yang tidak punya anak, yang memandang adopsi akan memberi  kesenangan sebagaimana  yang dirasakan orang lain yang tampak bahagia.

Sabtu, 24 September 1983

Agama dan Kebangsaan

Tiga orang intelektual muslim kita mengalami persamaan nasib  di negeri orang. Intelektual pertama  adalah  penganut pandangan pluralistik dalam soal-soal keagamaan: mengikuti pentingnya perbedaan pandangan antar kelompok yang begitu banyak ragamnya. Yang kedua penganut orthodoksi agama dalam artian yang tulen: tidak keberatan orang menyatakan pendapat berbeda tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan ajaran- ajaran formal agamanya. Katakanlah ‘intelektual kelas orang baik-baik’.

Yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaharuan dan kini berubah identitas, oleh kebutuhan politis. Lebih tepat dinamai pluralistik kultural dan monolitik politis.

Sabtu, 03 September 1983

Sekuler Tidak Sekuler

Baru saja orang dibikin lega oleh pidato Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1983, ternyata segera dibuat heran oleh yang terjadi setelah itu.

Sunawar Sukowati menyatakan, kepada anak buahnya di lingkungan Fraksi Demokrasi Pembangunan di DPR, bahwa negara Indonesia adalah "negara sekuler". Ini katanya, karena Indonesia bukanlah negara agama, dan karena kekuasaan agama dibedakan dari kekuasaan negara. Selama ini orang memang bisa  bingung dengan status negara kita. Dan nampaknya  enggan membicarakannya.

Keengganan untuk membicarakan status tidak jelas dari negara kita, tentu ada sebabnya. Takut menimbulkan kerawanan politik. Atau tidak diperkenankan atasan, kalau yang bicara pegawai negeri. Takut dituduh menghasut dan menimbulkan kegelisahan, kalau yang ngomong pemimpin Islam. Walhasil, akibatnya sudah ketahuan: kita cenderung merumuskan status negara hanya dari sudut menegasikan apa yang tidak selayaknya diletakkan pada negara itu.

Negara agama? Bukan, karena kita menolak teokrasi. Negara sekuler? Yang mau berbicara, selalu mengatakan bukan juga. Karena Pancasila memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila. Apalagi sebagai sila yang pertama.

Tapi soal ini sebenarnya tidak membingungkan bagi yang memahaminya 'secara tersirat': negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan.

Landasan formal kehidupan bernegara memang tidak menetapkan agama sebagai salah satu unsur ramuan dalam kegiaan pemerintahan. Namun, ia harus dilakukan dalam peranan kongkret yang dilaksanakan pemerintah. Dengan kata lain, secara eksplisit Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang menunjang kehidupan beragama.

Sudah tentu tidak semua orang mampu memahami hakikat status negara itu dari sudut yang 'samar tetapi jelas' itu. Banyak yang melihat dari sudut mekanisme pembagian kekuasaan di dalamnya saja: Yang negara diurus oleh negara, yang agama diurus oleh lembaga keagamaan. Kalau ada pembagian wewenang antara mana yang dibidangi negara dan mana yang dibidangi lembaga keagamaan sendiri berarti itu negara sekuler.

Pihak lain , mendengar kesimpulan begitu naik pitam. Bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi negara sekuler ? Lihat betapa rakyatnya taat beragama, bagaimana pemerintah berkiprah  di banyak kegiatan keagamaan. Banyak pejabat negeri pergi haji, anak-anak mereka mengaji di luar kegiatan sekolah, dan istri-isri mereka rajin mengikuti 'majlis taklim'. Beribu-ribu gedung sekolah agama dan tempat peribadatan dibangun pemerintah, kok masih juga dianggap sekuler. Keterlaluan itu orang!

Padahal kedua-duanya berbicara dari titik pandangan yang berlainan. Yang satu dengan melihat landasan bagi mekanisme pemerintahan dalam kehidupan nyata. Yang satu takut, kalau tidak dinyatakan "sekuler", Indonesia akan diangap dan diperlakukan sebagai negara agama. Yang lain takut, negara akan kehilangan kaitannya dengan agama, kalau dinyatakan " sekuler".

Masalahnya pun sederhana saja tetapi ia menunjukkan masih rapuhnya kehidupan konstitusional kita. Pengertian-pengertian yang di kandung ideologi negara dan Undang-Undang Dasar, belum di perjelas. Dan belum sama pendapat orang tentang batas-batas kegiatan pemerintah di bidang keagamaan.

Yang diperlukan sudah tentu adalah upaya untuk terus menerus mengamati perkembangan keadaan, sambil mencoba mendorong diskusi yang memperjelas permasalahan dan pengertian. Sudah tentu dalam lingkup terbatas, yang akan diperluas dengan semakin besarnya kemampuan masyarakat untuk mempermasalahkannya tanpa mengakibatkan keributan.

Apakah beda antara pembedaan wewenang kenegaraan dan  wewenang keagamaan di satu pihak  dan sekularisme di pihak lain? Kalau dikatakan kata sifat 'sekuler' untuk Indonesia tidak berarti penerimaan filsafat politik sekularisme, di mana letak titik pisah antara keduanya?

Secara berangsur-angsur, permasalahannya akan menjadi semakin bertambah jelas, hingga pada akhirnya ada kesatuan pengertian.

Sabtu, 30 Juli 1983

Mikrokosmos Seorang Masjumi

Perawakannya sedang, dengan raut muka halus, kulit  putih bersih dan rambut mulai menipis di bagian depan. Berpakaian safari suit yang sesuai dengan kendaraan yang dipakainya, sebuah Toyota Corolla DX, ia tampak sesuai dengan jabatannya selaku manajer sebuah usaha bisnis patungan dengan penanam modal ‘kecil’ dari salah satu negara Asia (non-Jepang).

Penampilan seperti itu diimbangi oleh sikp yang sangat sopan, suara yang tidk terlalu lantang dan cara berbicara yang selalu merendah. Walhasil penampilan gabungan antara keapikan dan kesopann Timur dan kewibawaan eksekutif masa kini.

Sabtu, 16 Juli 1983

Salahkah Jika Dipribumikan

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya.

Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.

Sabtu, 21 Mei 1983

Damai dalam Pertentangan

Memang ironis kalau simbol lebih dikenal dari kenyataan. Tapi itulah yang terjadi di Tokyo bulan lalu, April 1983. Film Gandhi, yang baru saja memenangkan  delapan Oscar  di Hollywood, diputar serentak di sekian bioskop. Karcis dibeli berebutan . Masyarakat Jepang rupanya disentuh  nuraninya oleh film yang menggambarkan perlawanan tanpa kekerasan.

Namun sebuah kejadian lain di Tokyo waktu itu hampir-hampir tidak memperoleh perhatian. Hanya dimuat dalam berita pendek di sudut bawah koran-koran Jepang: Uskup Agung Helder Camara menerima Hadiah Niwano untuk perdamaian. Padahal tahun inilah hadiah itu pertama kali di berikan.

Sabtu, 12 Maret 1983

Israel: Cukupkah Momentumnya?

Komisi Kahan yang dibentuk pemerintah Israel untuk menyelidiki pembantaian para pengungsi Palestina di Beirut Barat telah menyelesaikan kerjanya.

Sebuah tonggak baru dalam kehidupan bangsa Israel telah ditegakkan: kekuasaan hukum harus diletakkan di atas kekuasaan politik. Sebuah sikap menjunjung tinggi keadilan dengan segala konsekuensinya telah dikemukakan, dengan cara yang tidak membawa kepada anarki politik, atau dengan cara yang tidak menghancurkan sendi-sendi pemerintahan. Bahkan memperkuat sendi-sendi itu dari kemungkinan dimanipulasikan terlalu jauh oleh berbagai kecenderungan politk yang ada.

Sabtu, 29 Januari 1983

Kerudung dan Kesadaran Beragama

Kerudung adalah "pemandangan" biasa di kalangan kaum muslimin yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim dikenal dengan sebutan muslimat, menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar guna melekatkan predikat "biasa" di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid maupun pesta dan upacara, pendeknya ke semua keperluan di luar rumah , kerudung selalu di pakai, begitu juga dirumah, kalau sedang ada tamu.

Ada yang berwarna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah: ada juga yang polos, hanya pinggirnya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata keseluruh sanggul disasak lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang dari ban sekuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas: tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.

Sabtu, 08 Januari 1983

Tuhan Akrab dengan Mereka

Majalah Zaman baru-baru ini menampilkan sejumlah besar sajak anak-anak dibawah umur 15 tahun. Sajak-sajak-sajak itu selama ini di muat dalam rubrik ‘Kebun Kita’ majalah tersebut, tentu saja telah diseleksi.

Secara keseluruhan, puisi  yang terkumpul dalam tiga belas halaman itu menunjukkan kuatnya apresiasi sastra anak-anak kita dewasa ini, dan membuktikan tidak sia-sianya pelajaran Bahasa Indonesia di semua  sekolah, betapa banyak kekurangannya sekalipun.