Sabtu, 10 April 1982

Ornop: Benarkah Untul-Untul?

Dalam sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka gerakan nonpemerintah membuat analogi dengan budaya keraton di Jawa. Organisasi nonpemerintah (ornop) yang berkiprah di bawah, untuk meningkatan kualitas hidup masyarakat, punya fungsi yang unik. Yaitu sebagai bulan-bulanan rasa tidak senang aparat pemerintahan di daerah, bahkan di lapangan. Dianggap saingan berat yang dapat mematikan 'usaha'pemerintah sendiri. Ini sama dengan kedudukan sejenis mahluk istimewa dalam budaya keraton (Jawa), disebut untul-untul (huruf t menurut lidah Bali dan Aceh). Mereka para pengawal bangsawan Jawa.

Karena terpisah sama sekali dari komunikasi dengan rakyat banyak, kecuali melalui laporan petugas keraton sendiri, para bangsawan sering kesepian. Untuk diajak berbincang-bincang dan meramaikan suasana, diangkatlah untul-untul: tidak lagi menghibur secara aktif, melainkan secara pasifdengan menyediakan badan sendiri sebagai sasaran pelampiasan. Dengan kata lain harus bersedia ditempeleng sekali-kali.

Sabtu, 03 April 1982

Dakwah Harus Diteliti

Sebenarnya sudah lama ada penelitian dakwah. Ada yang dilakukan pihak intel. Apa menghina pejabat tinggi? Apa menganjurkan pemberontakan? Mungkin menyuarakan gagasan berbau SARA? Apalagi contohnya sudah banyak - seperti kasus Imran. Bagai racun, dakwah yang diberikannya secara eksklusif kepada bekas anak buah sudah membuahkan perbuatan-perbuatan krimiminal.

Ada juga yang dilakukan sejumlah lembaga - seperti Kodi ( Koordinator Dakwah Islam ) DKI Jakarta Raya. Berapa masjid yang ada, dulu  dan kini? Bagaimana dakwah dilakukan? Substansinya? Gayanya? Diseminarkan juga - seperti acara lokakarya 'Dakwah di Ibukota Tahun 2000' tahun lalu.

 Juga pendidikan dakwah dipakai sebagai umpan untuk mengembangkan hasil kajian. Disamping itu diterbitkan sejumlah buku tentang cara-cara melakukan dakwah di kalangan berbeda-beda; narapidana, masyarakat gedongan, kaum ibu, remaja, begitulah seterusnya. Mudah-mudahan dakwah akan menjadi efektif.

Persoalannya justru di sini: efektifkah dakwah hingga saat ini? Apakah ukuran yang digunakan?  Banyaknya pengunjung? Bukankah  banyak di antara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimana  diterangkan pola perilaku mereka yang diluar forum dakwah, tidak berubah banyak?  Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi:  pakai tutup kepala bagi wanita, rajin ke mesjid bagi sementara, getol mendermakan uang bagi yang kaya.

Seminar Palembang

Di sinilah perlu direnungkan hasil penelitian atas lima komunitas di luar Jawa, yang diseminarkan di Palembang baru-baru ini. Dari jawaban, umumnya responden ternyata menganggap hidup hanya untuk bekerja. Fungsi kerja umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah sedikit banyak dikaitkan dengan pertimbangan antar-ganerasional: untuk kepentingan anak-cucu. Kecil sekali orang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal mengabdi .

Cukup mengejutkan, bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan komunitas-komunitas yang di teliti ? Kenyataan itu wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain : perhatian warga masyarakat masih terpusat pada upaya bertahan sekedar hidup. Maklumlah masih banyak yang berada pada tahap hidup di bawah garis kemiskinan mutlak.

Memang, di luar, dalam pengamatan lahiriah tampak muncul kebutuhan kepada ritus keagamaan dalam skala masif, seperti terbukti dari derasnya  'back to mosque' . Tetapi lalu muncul pertanyaan : apakah 'kebangkitan  Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup, upaya 'politik burung unta" untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual?

Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid, dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman iman serta keterlibatan yang lebih bermakna. Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan disini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran Agama.

Agama mengajarkan kesetiakawanan, padahal hidup masyarakat kita  terungkap, oleh penelitian di atas,"menunjukkan lajunya proses individualisasi". Agama menghendaki solidaritas kuat antara berbagai lapisan masyarakat, tetapi yang dalam kenyataan sebaliknya yang terjadi. Kesenjangan besar antara si kaya dan si mikin adalah bukti paling kongkrit.

"Khatibin nas 'ala qadri'uqulihim", kata Nabi Muhammad: Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah. Bukankah diktum nabi itu justru mengharuskan kita menelaah pelapisan  masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya - seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan  hiburan bagi pengunjung. Tetapi dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan kongkret yang sedang dihadapi.

Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekedar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti  kerangka ritual yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap": ketakutan kepada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama.

Hasil penelitian diatas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan pengabdian menunjukkan betapa salahnya 'agenda dakwah' yang disebutkan terdahulu itu. Ternyata tujuan dakwah itu sendiri belum menjadi tujuan hidup bermasyarakat. Kalau demikian, bukankah harus disadari - oleh para pemikir dan penentu  kebjaksanaan keagamaan Islam kita - bahwa efektivitas dakwah masih harus diteliti?